Jalanan sekitar Pasteur hingga Jembatan Layang Pasupati masih lengang. Tak ada kendaraan bermotor yang berderet-deret saling membunyikan klakson atau pengemudi yang jenuh dengan kemacetan lalu lintas. Padahal kemarin adalah awal akhir pekan yang panjang. Biasanya, Bandung selalu penuh dengan pendatang. Kali ini saya cukup beruntung menikmati Bandung yang lengang, menghirup udara Bandung yang sedikit lebih jernih dari hari biasa dan menempuh hanya 30 menit perjalanan dari rumah (di Cimahi) ke Pasar Cihapit. Juara!
Pagi itu saya dan beberapa rekan blogger diundang oleh Komunitas Apit Tjihapit, yang terdiri dari beberapa mahasiswa Magister Administrasi Bisnis, Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB yang sudah merevitalisasi Pasar Cihapit menjadi pasar yang layak dikenang. Bukan saja oleh kakak adik Dewi Dee Lestari dan Arinna Mocca, tapi juga warga Bandung.
Pasar Cihapit? Dahi saya berkerut ketika menerima pesan dari Sasa alias Sarah Ismullah, seorang teman lama yang juga anggota komunitas Apit Tjihapit. Jujur saja, saya sering mendengar nama pasar ini, tapi tidak tahu lokasinya. Kecuali kawasan pasar loak yang sekarang banyak menjual batu akik. Atau kios-kios penjual tape mobil di sekitar daerah Cihapit.
Tapi saya antusias ingin datang. Ingin bergabung bersama teman-teman Apit Tjihapit yang baru saya temui kemarin dan ikut merasakan Bandung Tempo Dulu melalui lorong-lorong pasar tradisional yang bersih.
Semua Ada
Pasar tradisional yang bersih? Serius? Sungguh!
Awalnya saya juga nggak percaya, kok. Mana ada pasar tradisional tanpa genangan air, aroma busuk dan pembeli yang berdesakan. Bayangan saya yang lain akan pasar ini adalah soal luasnya. Saya kira luas seperti Pasar Antri atau Pasar Atas di Cimahi.
Dan ternyata saya salah! Pasar Cihapit adalah sebuah pasar tradisional yang bersih, tanpa sampah yang menggunung, tanpa genang air jejak hujan, tanpa aroma busuk dan tidak terlalu luas tapi lengkap!
Kios yang menjual perabotan (dan beberapa properti foto) tradisional? Ada.
Daging sapi segar?
Bermacam ukuran udang?
Cumi yang enak dibikin tumis cumi hitam?
Ayam kampung yang langsung dipotong di tempat?
Paprika merah untuk masakan Italiamu?
Daun kelor untuk sayur bening yang segar?
Lupis yang ditaburi parutan kelapa dan diguyur saus gula merah?
Daun genjer untuk ditumis dengan cabe domba dan duo bawang?
Atau bahkan daging babi, mungkin untuk pork belly ala Simon Baudoin?
SEMUA ADA.
Bahkan, agak dalam sedikit menuju jalan lain yang tembus ke masjid, kita bisa menemukan kedai kopi dan teh. Atau nasi rames yang legendaris, hasil racikan Ma Eha. Keluar lewat gang yang lain (yang tembus ke masjid), kita bisa menemukan Lotek Cihapit yang melegenda itu. Atau, penggemar camilan yang tidak terlalu mengeyangkan, bisa coba kue balok dan surabi kinca hangat yang dibuat langsung saat ada yang pesan.
Jadi, mari masuk ke kapsul waktu dan berpijak sejenak di Bandung di masa lalu. Sedikit kelam dan gelap, tapi membawa pelajaran bijak untuk kita.
Bloemenkemp
Terbuat dari apakah kenangan jika bayangannya kelam? Kelam itu terdiri dari pagar bambu dan kawat berduri yang sangat tinggi berupa kamp konsentrasi. Beberapa pengawas ditugaskan di pos penjaga, mengawasi penghuni kamp yang berjejalan, saling berhimpit.
Pemerintah Jepang yag mengambil alih Bandung dari Belanda, memisahkan antara kamp wanita dan anak-anak dengan kamp lelaki. Meski kamp wanita dan anak-anak kondisinya jauh lebih baik daripada kamp lelaki, kegiatan mereka masih dibatasi. Terkadang, ada saja penduduk kamp yang melanggar aturan dan kerap menyulut kemarahan petugas. Konon, Kamp Cihapit mencatat 243 korban meninggal selama didirikan.
Ketika dibuka pada tahun 1942, penghuni kamp ini mencapai 14.000 orang. Di tahun 1944, pemerintah akhirnya menutup kamp ini yang penghuninya tersisa 10.000 orang dan dipindahkan ke berbagai kamp di Pulau Jawa.
Cihapit Masa Kini
"Pasar ini dulunya kandang kuda, Neng. Punya orang Australia. Itu loh kuda yang tinggi dan gagah," cerita Meneer Kumis, seorang pria tua yang masih sehat dan tegap.
Meneer Kumis kemudian membungkuk dan mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Belanda. Belum cukup kekaguman saya, ia sudah mengucapkan sapaan dalam bahasa Jepang. Hebat sekali kakek yang satu ini! :D
Mengaku sudah berjualan di Pasar Cihapit sejak tahun 1959, Kakek hebat yang bernama asli Suhendi Bariji (74 tahun) ini banyak bercerita tentang Pasar Cihapit tempo dulu. Menurutnya baik penduduk pribumi atau warga Belanda, wajib ikut aturan pemerintah Jepang. Ia bahkan smepat bercerita tentang beberapa keluarga yang jadi tahanan kamp.
Itu duluuu. Sekarang, Pasar Cihapit sudah berubah banyak. Apalagi ketika dibantu oleh teman-teman di Apit Tjihapit. Meski progamnya baru berjalan enam bulan, tapi perubahannya sudah melaju pesat. Kalau dulu di pasar ini banyak tumpukan sampah, sekarang tidak lagi. Para kru Apit Tjihapit mengajak pedagang untuk membersihkan sebuah gang kecil yang dulunya adalah TPS. Sekarang gang ini bebas sampah, bersih dengan selokan yang lancar.
Begitu masuk ke Pasar Cihapit, kamu akan melalui Gang Senggol dengan coretan mural penuh warna yang artistik. Jangan banyangkan pasar tradisional yang pernah kamu jelajahi. Pasar Cihapit adalah pasar nostalgia yang bersih, dengan penataan artistik dan pedagangnya ramah.
Sudah, hanya itu saja kehebatan pasar ini? Oh tunggu dulu! Bicara soal buah, sayur, ikan laut, daging sapi, daging ayam dan semacamnya, pedagang di pasar ini punya semacam standar SOP. Jadi, mereka tidak langsung menjual barang dagangan mereka melainkan memilah dulu, mana yang layak dijual, mana yang tidak. Yep, semua barang dagangan di pasar ini sudah melewati proses ini. Kamu pasti mendapatkan yang terbaik di sini :)
Kuliner Legendaris di Sekitar Pasar Cihapit
Jangan khawatir soal kuliner di sepanjang Jalan Cihapit. Terbentang dari ujung ke ujung yang lain, kamu bisa menemui banyak kuliner di luar pasar. Mulai dari aneka gorengan, lotek, kupat tahu, surabi dan penjual buah-buahan. Entah kenapa, pemandangan di sini mengingatkan saya akan beberapa foto yang diunggah para traveler saat berada di luar negeri. Di sisi yang ini, saya merasa seperti ada di Bangkok atau Thailand. Sementara di sisi yang lain, saya seperti terlempar ke Italia atau Yunani. Syukurlah saya masih ada di Bandung :)
Di dalam pasarnya sendiri sebetulnya ada Nasi Rames Ma Eha yang terkenal. Sayangnya ketika kami ke sana, kios tersbeut tutup. Jadi, Ma Eha yang legendaris itu memang sengaja meliburkan karyawannya mengikuti tanggal merah di kalender.
Ada juga kedai kopi yang asik buat nongkrong. Waktu sampai di sana, kedai kopi inilah yang pertama kali kami tuju. Eh, ternyata sudah ada Ulu dan Alfian. Setelah tur berakhir, Ulu dan Efi tinggal untuk ngopi (lagi), sayangnya saya harus segera angkat kaki dari sana. Tapi saya sempat memotret kedai kopi itu kok.
Akhirnya kami mencicipi Kue Balok Cihapit yang (juga) legendaris itu. Di sini, kue balok hanya dijual dalam satu rasa, yaitu rasa asli. Namun, ada dua pilihan topping yang bisa dipilih, yaitu choco chips dan keju. Tidak seperti kue balok yang pernah saya cicipi, tekstur kue balok di sini lebih light. Tidak terlalu berat seperti kebanyakan kue balok lainnya. Rasa manisnya juga pas, meski setelah makan satu, tenggorokan sudah ingin diguyur air dingin.
Tur kami diakhiri di sebuah gang kecil yang tembus dari Pasar Cihapit dengan sepiring lotek yang bumbunya full kacang dan kental tiada tara *halah*. Tingkat kematangan sayurnya pas, pedasnya ringan dan saya juga menemukan rasa asam yang segar dari perasan jeruk nipis. Enak sekali. Sepiring lotek ini dihargai Rp 11.000,-
Akhirnya dengan perut kenyang dan kenangan di benak, kami berpisah dengan tim Apit Tjihapit. Semoga lain waktu saya bisa kembali ke sini menikmati kupat tahu, surabi dan nasi rames Ma Eha. Semoga.
Terbuat dari apakah kenangan jika bayangannya kelam? Kelam itu terdiri dari pagar bambu dan kawat berduri yang sangat tinggi berupa kamp konsentrasi. Beberapa pengawas ditugaskan di pos penjaga, mengawasi penghuni kamp yang berjejalan, saling berhimpit.
Pemerintah Jepang yag mengambil alih Bandung dari Belanda, memisahkan antara kamp wanita dan anak-anak dengan kamp lelaki. Meski kamp wanita dan anak-anak kondisinya jauh lebih baik daripada kamp lelaki, kegiatan mereka masih dibatasi. Terkadang, ada saja penduduk kamp yang melanggar aturan dan kerap menyulut kemarahan petugas. Konon, Kamp Cihapit mencatat 243 korban meninggal selama didirikan.
Ketika dibuka pada tahun 1942, penghuni kamp ini mencapai 14.000 orang. Di tahun 1944, pemerintah akhirnya menutup kamp ini yang penghuninya tersisa 10.000 orang dan dipindahkan ke berbagai kamp di Pulau Jawa.
Cihapit Masa Kini
"Pasar ini dulunya kandang kuda, Neng. Punya orang Australia. Itu loh kuda yang tinggi dan gagah," cerita Meneer Kumis, seorang pria tua yang masih sehat dan tegap.
Meneer Kumis di antara dagangannya |
Meneer Kumis kemudian membungkuk dan mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Belanda. Belum cukup kekaguman saya, ia sudah mengucapkan sapaan dalam bahasa Jepang. Hebat sekali kakek yang satu ini! :D
Mengaku sudah berjualan di Pasar Cihapit sejak tahun 1959, Kakek hebat yang bernama asli Suhendi Bariji (74 tahun) ini banyak bercerita tentang Pasar Cihapit tempo dulu. Menurutnya baik penduduk pribumi atau warga Belanda, wajib ikut aturan pemerintah Jepang. Ia bahkan smepat bercerita tentang beberapa keluarga yang jadi tahanan kamp.
Itu duluuu. Sekarang, Pasar Cihapit sudah berubah banyak. Apalagi ketika dibantu oleh teman-teman di Apit Tjihapit. Meski progamnya baru berjalan enam bulan, tapi perubahannya sudah melaju pesat. Kalau dulu di pasar ini banyak tumpukan sampah, sekarang tidak lagi. Para kru Apit Tjihapit mengajak pedagang untuk membersihkan sebuah gang kecil yang dulunya adalah TPS. Sekarang gang ini bebas sampah, bersih dengan selokan yang lancar.
Gang Kecil Bekas TPS. Goodbye rubish! |
Begitu masuk ke Pasar Cihapit, kamu akan melalui Gang Senggol dengan coretan mural penuh warna yang artistik. Jangan banyangkan pasar tradisional yang pernah kamu jelajahi. Pasar Cihapit adalah pasar nostalgia yang bersih, dengan penataan artistik dan pedagangnya ramah.
Selamat Datang di Gang Senggol |
Salah Satu Mural di Dinding Sepanjang Gang Senggol |
Sudah, hanya itu saja kehebatan pasar ini? Oh tunggu dulu! Bicara soal buah, sayur, ikan laut, daging sapi, daging ayam dan semacamnya, pedagang di pasar ini punya semacam standar SOP. Jadi, mereka tidak langsung menjual barang dagangan mereka melainkan memilah dulu, mana yang layak dijual, mana yang tidak. Yep, semua barang dagangan di pasar ini sudah melewati proses ini. Kamu pasti mendapatkan yang terbaik di sini :)
Dagangan Aneka Ubi Ini Ditata. |
Kuliner Legendaris di Sekitar Pasar Cihapit
Aneka Gerobak di Sepanjang Jalan Cihapit |
Gorengan Anyone? |
Jangan khawatir soal kuliner di sepanjang Jalan Cihapit. Terbentang dari ujung ke ujung yang lain, kamu bisa menemui banyak kuliner di luar pasar. Mulai dari aneka gorengan, lotek, kupat tahu, surabi dan penjual buah-buahan. Entah kenapa, pemandangan di sini mengingatkan saya akan beberapa foto yang diunggah para traveler saat berada di luar negeri. Di sisi yang ini, saya merasa seperti ada di Bangkok atau Thailand. Sementara di sisi yang lain, saya seperti terlempar ke Italia atau Yunani. Syukurlah saya masih ada di Bandung :)
Di dalam pasarnya sendiri sebetulnya ada Nasi Rames Ma Eha yang terkenal. Sayangnya ketika kami ke sana, kios tersbeut tutup. Jadi, Ma Eha yang legendaris itu memang sengaja meliburkan karyawannya mengikuti tanggal merah di kalender.
Ada juga kedai kopi yang asik buat nongkrong. Waktu sampai di sana, kedai kopi inilah yang pertama kali kami tuju. Eh, ternyata sudah ada Ulu dan Alfian. Setelah tur berakhir, Ulu dan Efi tinggal untuk ngopi (lagi), sayangnya saya harus segera angkat kaki dari sana. Tapi saya sempat memotret kedai kopi itu kok.
The Barista |
Kedai Kopi |
Warung Bu Doz 'N Milik Bu Alit |
Akhirnya kami mencicipi Kue Balok Cihapit yang (juga) legendaris itu. Di sini, kue balok hanya dijual dalam satu rasa, yaitu rasa asli. Namun, ada dua pilihan topping yang bisa dipilih, yaitu choco chips dan keju. Tidak seperti kue balok yang pernah saya cicipi, tekstur kue balok di sini lebih light. Tidak terlalu berat seperti kebanyakan kue balok lainnya. Rasa manisnya juga pas, meski setelah makan satu, tenggorokan sudah ingin diguyur air dingin.
Kue Balok Cihapit |
Which One Are You? Chocolate Chips or Cheese? |
Tur kami diakhiri di sebuah gang kecil yang tembus dari Pasar Cihapit dengan sepiring lotek yang bumbunya full kacang dan kental tiada tara *halah*. Tingkat kematangan sayurnya pas, pedasnya ringan dan saya juga menemukan rasa asam yang segar dari perasan jeruk nipis. Enak sekali. Sepiring lotek ini dihargai Rp 11.000,-
Sepiring Lotek Cihapit yang Legendaris |
Warung Lotek Cihapit |
Akhirnya dengan perut kenyang dan kenangan di benak, kami berpisah dengan tim Apit Tjihapit. Semoga lain waktu saya bisa kembali ke sini menikmati kupat tahu, surabi dan nasi rames Ma Eha. Semoga.
Besok, belanja mingguan ke pasar cihapit aja ah :D, deket dari rumah. Btw harganya murah gak? takutnya karena sudah terkenal dan dibagusin jadi mahal hehe
BalasHapusNitip atuh, Sis :D
Hapuswah udah lama ngga kesini, kok jadi bagus dan rapi pisan.
BalasHapusdulu saya selalu belanja kolang kaling pisang disini, karena produknya selalu bagus.
Sayang bau sampahnya ngga nahan. #dulu .... ^^
Iya, Bu. Sekarang sudah dibersihkan oleh rekan dan pedagang pasarnya sendiri :)
Hapuswaaahh asyiiik ada yang mau masak. bungkuusss hahaha...
BalasHapusasyiknya ada pasar tradisional yg go internasional, beresih. nyaman pastina belanjana. back to nature lg. bandung juaralah
Sugan we pasar Antri atau pasar Luhur jadi seperti ini yak :D
HapusKe sini lagi yuk. Masih penasaran sama masakannya Ma Eha dan talenan lucu itu masih membayang. #halah
BalasHapusThat darn cutting board! It was hunting me too! Hahaha
HapusWow asyik bgt ya dari dulu blm kesampaian kesini, duh loteknya pengen bgt, my fave food
BalasHapusSekarang pun rasanya masih haujek! :)
HapusAih.. jd pengen lotek.
BalasHapusYuuk, melipir ke sini :)
Hapusmbak, kalau saya bisa ke situ, kayanya bakalan kalap pengen nyobain dan beli ini itu, biasanya kan lbh murah ya.. salut sama pasar ini, bisa bersih kaya gitu :-)
BalasHapuswahh menarik bangetttt :p pasarnya bersih n belom kesampean sampe sekarang coba gado gado cihapit
BalasHapusKeren mak dydie....loteknya menggugah selera, btw aku masih blum ngeh nech lotek yg kesohor itu yg didalam atau yg diluar depan kantor polisi cihapit sech mak?
BalasHapuskalo ada pasar tradisional yang sebersih dan sekomplit ini, mau deh tiap hari belanja di pasar aja...
BalasHapusdi Semarang, rata-rata pasar tradisional gelap, sumpek dan bau...jadi males deh
Pak Meneer udah lama juga ya jualan di sana. Masih sehat pula.
BalasHapusPasarnya bersejarah juga ya?
BalasHapusSeneng deh kalau pasar tradisional bersih kek gitu, jadi gak males belanja disana :D
gorengannya minta banget batalin diet mbak hahaha
BalasHapusmampir sekalian follow :D
BalasHapusihhhh, lgs aku catet ah mbak... sabtu bsk aku ke bandung ama keluarga.. udh lama ga main kesana, pgn kulineran :D.. iya nih, ngeliat foto2nya, aku jd inget pasar chatuchak bangkok.. komplit semua ada ..
BalasHapus