Menara Masjid Indramayu |
Saya duduk dalam mobil yang melaju santai menuju Cirebon. Cuaca cerah dengan langit biru berserak awan putih. Ponsel saya berbunyi, sebuah pesan di WhatsApp muncul. Rupanya dari seorang kawan yang masih mencemaskan persoalan turun lapangan yang sudah saya lakoni sejak Senin, 30 Mei ini.
Tiba-tiba hati saya buncah oleh rasa syukur. Perjalanan saya ke dan selama di Indramayu sudah dilancarkan. Saya juga bertemu orang-orang baik hati yang selalu ada ketika saya butuh pertolongan. Teman yang dengan sabar menepikan mobil hanya agar saya bisa memotret sebuah pintu berwarna toska di tepi jalan di kawasan Pecinan. Atau teman yang menunjukkan di mana bisa mendapatkan pedesan entog yang nikmatnya tak terkira itu. Juga ada Mbak Nana yang sudah berkomunikasi dan mengurusi ini itu sejak saya belum tiba di Indramayu. Juga ada Pak Amin yang tasnya seperti kantong doraemon, tak berhenti mengeluarkan uang, membayari ini itu. Hahaha.
"Jadi harus lima hari di Indramayu, Pak? Tiga hari saja bolehkah?" tawar saya saat Pak Amin mengabari tentang berapa lama saya harus tinggal di Indramayu untuk mengumpulkan data. (Hmm, sudahkah saya memberitahumu bahwa pengumpulan data ini dilakukan sehubungan dengan profesi saya sebagai penulis buku anak? Belum? Well, barusan sudah saya beri tahu kan. Hahaha. Jadi, saya terpilih sebagai salah satu penulis yang akan menuliskan buku anak seri pengenalan budaya kepercayaan dan tradisi. Untuk itulah saya perlu mengumpulkan data di lapangan (dalam hal ini di desa Lelea, Indramayu). Di benak, sudah terbayang lima hari tanpa keluarga. Tanpa Altaz yang selalu 'merecoki' saya dengan ulahnya, atau tanpa suami yang kadang membuat KZL. Apalagi Ulu, seorang teman blogger mengatakan, "Waaah, Indramayu mah panas, Teh. Kotanya kecil. Mending nginep saja di Cirebon baru ke Indramayu." Hati saya makin nelangsa.
Ternyata di ujung sana, Pak Amin dengan tegas menolak. Sebuah amanat tetaplah amanat yang harus dilakukan, suka atau tidak suka, terpaksa atau sepenuh hati. Maka tidak ada pilihan lain selain berangkat dengan seeprtiga hati dan saya memtuskan untuk menikmati perjalanan daripada bersungut-sungut. Rupanya keputusan saya tepat.
Saya duduk di kereta Ciremai jurusan Bandung - Cirebon sambil mereka-reka kalimat apa yang harus saya sampaikan saat bertemu wajah-wajah baru ini. Saya bukanlah orang supel yang langsung klik dengan orang yang baru ditemui. Saya cenderung pemurung dan menarik diri, khas introvert. Itu sebabnya saya sering mengalami awkward moment. Kedua, saya tidak suka dengan cuasa panas yang membuat tidak nyaman. Zzzz... Ketiga, saya belum menyusun pertanyaan untuk nara sumber. Blah!
Kemudian rintik hujan mengetuk kaca jendela di kereta. Saya membuka tirai dan menemukan mereka menyapa di sela pemandangan sawah yang menghijau. Awalnya berupa rintik kecil yang seiring berjalannya waktu menjadi hujan besar yang ritmis. Senyum mengembang di bibir saya. Tuhan sudah menunjukkan kuasa-Nya siang itu. Diturunkan-Nya hujan agar makhluk manis nan semok ini tidak kepanasan selama di Indramayu. Thank You, Rabb.
Ketika turun di stasiun Jatibarang, saya disambut dengan cuaca sejuk dan sapaan Pak Amin. Juga supir dari hotel yang bertugas menjemput kami, yang dengan santai mengatakan ia menunggu di dalam mobil, tepat di depan stasiun. Padahal saya tidak tahu jenis mobil apa yang ia pakai, warnanya apa dan .... Ia tiba-tiba muncul setelah saya telepon dan masih kekeh ia sudah menunggu di lokasi yang paling mudah di akses. Di dalam mobil. Mobil yang...oke, lupakan.
Hari Kedua: Bersua Teman Lama!
Pagi itu, setelah sarapan yang ajib, saya dan Pak Amin sedang menunggu Mbak Indah dan Pak Tarno. Bukan, ini bukan Pak Tarno yang pesulap itu. LOL. Tapi ini Pak Tarno, driver yang akan mengantar kami mengelilingi Indramayu. Pak Amin adalah pendamping dari Kemendikbud yang bertugas membantu saya mengumpulkan hati yang terserak data di lapangan. Nah, Mbak Indah adalah adik Mbak Nana, teman Mbak Yovita. Njelimet ya? Hihihi.
Jadi gini. Untuk memudahkan saya selama di Indramayu, Mbak Yovita yang juga seorang penulis dan rekan sekamar saya waktu di Bogor, mengenalkan saya pada Mbak Nana. Nah, Mbak Nana inilah yang mengurusi sewa hotel dan mobil selama saya belum berada di Indramayu. Karena Mbak Nana kerja, maka ditunjuklah ((ditunjuklah)) Mbak Indah untuk menemani saya, sebagai tour guide.
Tadinya kami akan langsung menuju sanggar tari Mimi Rasinah yang terkenal itu. Tapi karena hari masih pagi, maka kami memutuskan menuju alun-alun. Di alun-alun ini, saya bersua dengan teman lama. Sosok yang biasanya bertengger di dinding putih yang dingin. Selengkapnya tentang kawan lama ada di (Masih) Ada Garuda Di Dada.
Tadinya kami akan langsung menuju sanggar tari Mimi Rasinah yang terkenal itu. Tapi karena hari masih pagi, maka kami memutuskan menuju alun-alun. Di alun-alun ini, saya bersua dengan teman lama. Sosok yang biasanya bertengger di dinding putih yang dingin. Selengkapnya tentang kawan lama ada di (Masih) Ada Garuda Di Dada.
Tugu Bambu di Alun Alun Indramayu |
Setelah itu kami meluncur ke sentra batik di Desa Paoman, Indramayu. Sayangnya para pembatik yang kebanyakan ibu-ibu belum tiba. Yang ada hanya seorang bapak yang sedang melakukan proses pencelupan batik cap. Susana masih lengang dan pandangan saya tertuju pada tungku dengan jelaga yang berisi lilin. Penampakannya terkesan kotor, hitam dan tidak terawat. Tapi apinya tetap menyala, tak peduli pandangan orang terhadapnya.
Saya buru-buru memotretnya, menyimpannya dalam benak. Entah kenapa, saya jatuh hati padanya. Saya jatuh hati pada jelaga pada dinding, juga pada nyala api yang tenang. Ada pula lelehan lilin dan blek (kaleng) persegi di atas tungku.
Saya buru-buru memotretnya, menyimpannya dalam benak. Entah kenapa, saya jatuh hati padanya. Saya jatuh hati pada jelaga pada dinding, juga pada nyala api yang tenang. Ada pula lelehan lilin dan blek (kaleng) persegi di atas tungku.
Dalam perjalanan menuju ke Sanggar Tari Mimi Rasinah, Mbak Indah berseloroh, "Dydie, di dekat sini ada sentra pembuatan kerupuk loh."
Tunggu dulu. Kerupuk? Saya ingat betul setiap kali membuat koya (poya) untuk soto ayam Lamongan, saya pasti membeli kerupuk udang Indra Sari. Iya, saya tahu, kerupuk udang paling enak berasal dari Sidoarjo. Tapi di Cimahi susah didapat.
Akhirnya kami pun meminta Pak Tarno untuk berbelok ke kanan, tepat di mana terletak plang bertuliskan Sentra Industri Andalan Kerupuk Desa Kenanga. Maka, di kanan kiri bukan hamparan rumput yang saya lihat melainkan bertampah-tampah kerupuk yang sedang dijemur. Udara pun diracuni aroma amis dari kerupuk ikan. Superb!
Beruntung, ketika Pak Tarno menepikan mobil di salah satu toko kerupuk yang ada di sana, kami disambut oleh Pak Haji Saeni yang memperbolehkan kami berkunjung ke pabrik kerupuk. Wah, asik nih batin saya.
Sayangnya Pak Haji tidak bisa menemani dan menjelaskan bagaimana proses kerupuk ini dibuat. Dari pegawainya yang sedang mencetak kerupuk, saya mendapat sedikit penjelasan.
Seorang pegawai sedang mengolah tepung tapioka, daging ikan dan bawang putih pada mesin pengaduk adonan. |
Adonan kerupuk yang sudah diolah, masuk ke dalam emsin pencetak. |
Adonan kerupuk yang sudah dicetak, ditata dalam rak. |
Adonan yang sudah siap dikukus, ditata rapi dalam rak bertingkat. |
Adonan dalam rak bertingkat di foto atas, selanjutnya masuk dalam mesin pengukus berupa bilik-bilik persegi panjang. |
Adonan kerupuk yang sudah dikukus, didinginkan terlebih dahulu. |
Setelah dikukus, adonan kerupuk yang mirip pempek lenjer itu dipotong tipis dan ditata dalam tampah bambu untuk dikeringkan. Jika cuaca cerah dan mentari terik, proses ini hanya berlangsung sehari. Namun, jika cuaca mendung, bisa sampai tiga hari. Setelah itu kerupuk ditimbang dan dikemas.
Konon, sentra pembuatan kerupuk ini dimulai pada tahun 1980 lalu semakin berkembang. Tidak hanya dipasarkan di skeitar Jawa Barat, kerupuk-kerupuk ini juga dipasarkan sampai ke luar Pulau Jawa.
Jujur saja, kunjungan ke pabrik kerupuk ini tidak direncanakan. Itu sebabnya, saya senang bukan kepalang bisa menyaksikan proses pembuatan kerupuk. Selanjutnya, Menikmati Pedesan Entok Indramayu.
Aku juga pendiem (apalagi kalau tidur) dan ga suka cuaca panas, Dy hehehe. Duuh lupa pas diirmu ke Indramayu ga nitip kerupuk atau oleh-oleh apa gitu yang unik dari sono. Btw kok aku liat adonnan kerupuk malah terbayang Pempek, ya? :D
BalasHapusWah. Seru nich.. menjadi penulis ..mengumpulkan data di lapangan.. data dapat.. teman dapat.. pengalaman dapat.. dan ilmu baru juga dapat...
BalasHapus