There is no such thing as a perfect parent. So be real one. - Sue Atkins
Saya
menyergap Al sebelum ia mulai bertingkah lagi, memegang kedua lengannya dengan
mantap dan berkata, “Lihat mata Ibu!”
Beberapa
kali Al tetap meronta dan melihat mata saya hanya sekilas saja. Saya bersikukuh
agar ada kontak mata sampai akhirnya hal itu benar-benar terjadi. Lalu saya
katakan dengan tegas bahwa Al tidak boleh seperti itu lagi karena berbahaya.
Saya katakan beberapa kali –sambil menjaga agar kontak mata tetap terjaga- dan
melepaskan Al.
Sesudah
itu Al kembali ke kelas dan saya melenggang ke tempat lain. Di belakang saya
ibu-ibu yang sedang menunggui anaknya berbisik dan saya sempat mendengar salah
satunya berkata, “Ibunya galak ya. Bukan kayak gitu menghadapi anak banyak
tingkah.”
Saya tersenyum miris dan
menahan emosi. Mungkin saya memang terdengar dan terdengar galak, tapi sesungguhnya saya sedang berlaku tegas pada anak saya.
Ada Apa dengan Al?
Sebelum
membahas cara bersikap tegas pada anak, saya ingin berbagi kisah tentang Al.
Bocah berusia lima tahun yang rambut keritingnya mulai berubah menjadi ikal ini
sesungguhnya adalah bocah sehat dan pintar. Tempo hari ketika dilakukan tes IQ,
kecerdasan Al menyentuh angka 100 dengan catatan dari psikolog bahwa angka
tersebut bisa jauh lebih tinggi kalau Al mau menyelesaikan beberapa tugas yang
tersisa.
Al
adalah anak yang SANGAT, SANGAT, SANGAT
AKTIF tapi tidak termasuk ADHD. Karena keaktifannya tersebut, Al menjadi kurang fokus dan mempunyai
rentang konsentrasi yang pendek. Ia juga menghindari kontak mata, emosinya
kurang stabil, kurang menerima regulasi dan kurang aware dengan lingkungannya. Itulah kenapa Al menjalani terapi
okupasi dan fisioterapi. Terapi okupasi akan membantu Al mengembangkan motorik
halusnya, sementara fisioterapi membantu Al untuk mengendalikan gerak dan
mengembangkan motorik kasar.
Tegas, Tapi Tidak Dengan Emosi
Al
bukanlah anak yang suka berlama-lama menangis atau marah ketika tantrum. Ketika
saya atau ayahnya menenangkannya dan memilihkan pilihan lain, Al dengan mudah
akan menurut –meski terkadang masih manyun-. Beruntung? Tidak juga. Hal ini
terjadi karena rentang atensi Al yang pendek tadi, sehingga ia sudah lupa pada
apa yang ia minta yang menyebabkan ia marah. Bahkan si terapis sendiri menyarankan
untuk sesekali mengingatkan Al akan keinginannya tadi yang membuatnya marah dan
kesal.
Dari artikel
dan berkonsultasi dengan ahli tumbuh kembang, saya dan suami akhirnya belajar
lagi menjadi orang tua yang baik. Kami mulai berbicara dari hati ke hati
tentang kesalahan-kesalahan kami dan dengan bantuan ahli tumbuh kembang tadi
berkomitmen untuk mengubah pola asuh di rumah.
Salah satunya
adalah tidak marah terhadap kelakuan Al yang kapan saja ingin menumpahkan
mainan (karena tidak sabaran mencari satu mainan yang ia butuhkan, misalnya), memukul
atau meluapkan emosinya. Alih-alih marah (dengan emosi yang meluap pastinya),
lebih baik bersikap tegas dan menawarkan pilihan kegiatan lain. Misalnya ketika
Al sudah menaiki rak mainan. Dari pada marah, ngomel atau berteriak; lebih baik
jika langsung menurunkan Al dan mengatakan bahwa jika ia naik ia bisa saja terjatuh
kemudian memberikan pilihan lain yang bisa ia lakukan. Contoh, “Al, turun ya,
nanti kamu bisa jatuh. Kita main mobil-mobilan saja yuk, lihat deh, mobilnya
kehabisan bensin.” Atau, “Turun ya, nanti kamu bisa jatuh. Al mau apa (sambil
mengadakan kontak mata)?” ketika anak sudah menjawab (ingin mainan yang berada
di rak paling atas misalnya), kita bisa mengatakan agar lain kali ia bisa
meminta bantuan orang dewasa.
Awalnya
kami ragu, tapi ketika mencobanya dan berhasil, dada saya diluapi dengan
kebanggaan. Bangga karena saya bisa menaklukkan tantangan dan Al bisa bermain
tanpa omelan lagi.
Memberikan Pilihan Lain
Seringkali
yang terjadi adalah kita melarang dan mencegah anak melakukan sesuatu (yang
menurut kita membahayakan atau membuat kita pusing) tanpa memberikan alternatif
kegiatan lain.
Misalnya
ketika Al mulai mengambil tempat pinsil saya yang berisi peralatan doodling. Biasanya saya akan diam saja
dan mulai mengomel ketika ia sudah berhasil mengambil salah satu marker. Sambil
meminta paksa marker tesebut saya katakan pada Al untuk tidak mengambil
barang-barang milik Ibu karena ini bukan mainan.
Efektifkah?
Sama sekali tidak. Menurut ahli tumbuh kembang, sebaiknya kami juga memberinya
pilihan lain yang bisa dilakukan. Dengan contoh di atas, saya mulai belajar
untuk sabar, meminta secara baik dan mengatakan, “Ini spidol punya Ibu, kalau
Al mau, Al tinggal bilang sama Ibu. Ini spidol Al.”
Dengan
memberikan pilihan tersebut, kita juga membantu anak untuk menyalurkan
emosinya, bernegosiasi dan belajar menerima pilihan-pilihan.
Berikan Alasan yang Bisa Diterima Akal
Anak-anak
Contohnya
adalah kisah di awal tadi. Alih-alih mengomel panjang lebar atau memperingati
(sambil menyebut namanya berulang-ulang) agar orang lain tahu kita sedang
memarahi anak kita, lebih baik ajak ia untuk berhenti, lakukan kontak mata dan
katakan bahwa perbuatan tidak baik dan berikan alasan yang konkret.
Alasan
kenapa harus konkret adalah anak-anak di rentang usia 0-6 tahun biasanya belum
bisa menerima alasan ‘abstrak’ atau yang tidak ada hubungannya dengan apa yang
ia lakukan. Misalnya,
“Kalau kamu nakal, Mama sedih.” Anak bahkan tidak mengerti betul apa sih yang
dinamakan nakal dan kenapa Mama sedih (atau bahkan marah) kalau aku nakal. Lebih
baik kita mengatakan, “Tidak buang sampah sembarangan ya. Karena nanti
lantainya akan kotor.”
Untuk beberapa
orang, cara tegas semacam ini memang dianggap ‘kejam’ karena nada suara kita
yang keras (tapi tidak terlalu kencang) dan melakukan kontak mata. Tapi tegas
tidaklah sama dengan marah dengan emosi yang meluap. Selalu ingat untuk hanya
nada suara yang meninggi, bukan emosi. Buat saya ini jauh lebih baik dari pada
saya harus memanggil Al dan berulang kali mengatakan kata tidak (yang sama
sekali tidak efektif).
Teknik Negosiasi
Hari
ini Al saya berikan adonan donat yang dengan cepat segera ia mainkan bersama
dengan rolling pin dan cookie cutter. Tiba-tiba ia langsung mengatakan ingin
nonton film tanpa datang ke hadapan saya. Karena Al mempunyai masalah di atas,
maka terkadang tidak bisa mengendalikan keinginannya. Semua mainan ingin diambil,
dimainkan sebentar kemudian ditinggal. Rumah sering kali berantakan oleh mainan
Al.
Ibu
Qina, terapis fisioterapi Al, memberikan saya teknik negosiasi. Untuk kasus di
atas saya meminta Al untuk datang kepada saya dan mengatakannya secara sopan. Ketika
kontak mata sudah dilakukan dan Al sudah mengatakan yang ia butuhkan, saya
mulai bernegosiasi.
“Al
mau nonton film?”
Al
mengangguk. Setelah itu saya katakan, “Kalau mau nonton film, tolong mainannnya
dibereskan dulu.” Saya mengatakan ini sambil terus melakukan kontak mata. Ternyata
hasilnya di luar perkiraan, Al melakukan yang saya minta. Tanpa omelan, tanpa
permintaan yang diulang..semudah itu!
Jangan Mudah Menyerah
Sejujurnya,
saya juga masih belajar di tahap ini. Sesekali saya masih marah, masih enggan
mengingat semua saran dari terapis, psikolog dan ahli tumbuh kembang. Pun dengan
suami saya. Syukurlah pertemuan rutin dengan terapis itu membuat kami sadar
bahwa kami mampu melakukan ini, bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki
diri...setiap hari, selamanya.
Jadi, selamat belajar (lagi) menjadi orang tua yang baik. Mari bergandengan tangan, saling menguatkan dan saling menceritakan kisah anak-anak hebat. :)
Tulisan ini adalah tulisan untuk #KEBloggingCollab untuk kelompok Siti Nurbaya. Trigger post Jangan Sebut Ia Anak yang Nakal adalah tulisan dari Dzulkhulaifah Rahmat, seorang blogger yang menggemari jahit menjahit.
Melelahkan tapi memberi hasil yang mengejutkan ya mak. Satu dua kali mungkin belum berhasil, semua itu butuh proses. Mari mak, kita saling menguatkan. Eeeaa...
BalasHapusTegas tapi tidak emosi butuh latihan n kesabaran ya, tfs loh
BalasHapusPas kecil Marwah juga terbilang anak yang sangat aktif dan konsentrasinya pun cepet kabur apalagi kalau ada mainan baru. Thank sharingnya ya teh
BalasHapusDiajakin meditasi.... aku baru mau nulis buat Rocking Mama, ttg meditasi bersama anak. Keknya cucok buat Al n ibu Paus ^^
BalasHapusMakasih banyak sharingnya teh Didy, saya pun kurang lebih mengalami hal yang sama, kalau boleh tahu, Al diklinik tumbuh kembang mana ya?
BalasHapusmakasih
Makasih sharingnya, membantu sekali untuk ibu-ibu yang mengalami problem yang sama
BalasHapusBagian paling berat itu yang terakhir, harus konsisten ya...
BalasHapusBeneran deh bersikap tegas sama anak itu super menantang, apalagi ketika yang lain gak bisa tegas huhuhu
BalasHapusMakasii teh Dy ceritanya dan tips nya juga. Mau aku coba terapkan sama io, salam manis buat Al
BalasHapusMenjadi orang tua adalah sekolah yang tiada akhir. Kita harus belajar terus ya. Terima kasih sudah berbagi
BalasHapusIyaaa bener mak Dy, kok aku lupa kemariiii yaa..
BalasHapusKlo nyuruh pake hati tuh bedaaa banget impactnya. Klo pake esmosi, selalu gagal 😆
Terus, luar biasa kesabarannya nganterin terapi ^^ semangat terus...
Nice sharing Dy. Pengalaman ke terapis anak ya? Ada rekomendasi yang OK nggak? Mahal nggak sih? Saya belum pernah dan masih bingung mau ke yang mana.
BalasHapus