Sekolah apa sih yang cocok untuk ABK?
Bagaimana menilai sebuah sekolah inklusi apakah cocok atau tidak?
Apa yang harus saya lakukan?
Selamat siang yang terik dari Cimahi yang sumuk 😀.
Apa kabar semua? Mana suaranya yang sudah mulai sibuk nyetok makanan buat persiapan sarapan dan bekal sekolah? Hihihi.
Jujur saja, saya malah lagi riweuh sehingga urusan menyetok dan bekal sekolah ini jadi urusan sekian. Ada beberapa prioritas yang harus saya lakukan, termasuk di antaranya adalah mencari SD inklusi untuk Altaz.
Apalagi saya tinggal di Cimahi, kota kecil (yang damai dan saya cintai) yang hanya 30 menit dari Bandung, punya banyak sekolah bagus tapi sedikit yang bisa menerima anak berkebutuhan khusus. Kalaupun ada, saya dan suami harus cek dan ricek apakah konsepnya sesuai dengan pola asuh dan tujuan kami mendidik anak.
Wuiiih, kok jadi meluas gini ya bahasannya? Hihihi. Nggak apa-apa, sebagai orangtua memang harus terus belajar. Mencoba segala hal dengan baik, melakukan kesalahan, intropeksi dan mencoba lagi 😍.
Nah dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya yang penuh drama, tahun ini kami agak lebih leluasa mencari SD inklusi di Cimahi. Meski agak khawatir dan sempat kecewa karena sekolah idaman kami malah sudah menutup pendaftaran. Padahal kami sudah mendaftar sejak bulan Oktober 2019 loh.
Tahun lalu, kami memilih TK Asih Putera untuk Altaz yang bersedia menerima Altaz sesuai dengan kondisinya. Meski tidak ada program khusus untuk siswa ABK, tapi guru dan semua elemen sekolah sangat mendukung dan membantu kami dalam perkembangan kognitif dan motorik Altaz.
Dari pengalaman kami, saya ingin membagikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat mencari sekolah inklusi di Cimahi (dan juga kota lain). Semoga bermanfaat ya.
1. Sudah Siapkah Anak Bersekolah?
Dari keseluruhan artikel ini, poin pertama ini yang menurut saya paling penting sih. Jangan terburu-buru ingin menyekolahkan anak ketika kematangannya memang belum sepenuhnya siap atau berkembang.
Anak berkebutuhan khusus pasti memiliki kebutuhan yang berbeda dengan anak lain. Begitu pula dengan kesiapannya menghadapi lingkungan dan tantangan baru. Tahun lalu, kami berkonsultasi dengan psikolog untuk mengetahui kesiapan Al bersekolah (SD atau TK).
Saat itu, kemampuan kognitif dan motorik Al belum berkembang seperti sekarang. Memang ada perkembangan tapi belum terlalu signifikan. Itu sebabnya, meski usianya sudah cukup untuk masuk SD inklusi, kami masih ingin memberikan Al kesempatan seluas-luasnya untuk having fun dengan kemajuannya.
Sambil menunggu waktunya tiba, saya tetap menjalankan program-program yang sudah disusun oleh psikolog dan terapi. Saya ingat betul, kami memanfaatkan jeda selama satu tahun itu dengan menjalankan program home schooling. Program dan kurikulumnya nggak muluk-muluk kok, saya tetap fokus pada stimulus motorik dan sedikit demi sedikit memasukkan program akademis.
Hasilnya?
Saat masuk TK B di tahun ajaran baru, Al sudah mengenal huruf bahkan sudah bisa membaca meski belum lancar. Mengenal angka dan penjumlahan sederhana pun sudah ia kuasai.
Percayalah, ketika anak sudah siap, kemampuan yang lain pasti mengikuti. Misalnya seperti kemampuan akademis atau yang lainnya. Dan jika anak memang belum siap bersekolah, tenang saja, semuanya akan membaik kok.
2. Perhatikan Waktu Pendaftaran
Dari keseluruhan artikel ini, poin pertama ini yang menurut saya paling penting sih. Jangan terburu-buru ingin menyekolahkan anak ketika kematangannya memang belum sepenuhnya siap atau berkembang.
Anak berkebutuhan khusus pasti memiliki kebutuhan yang berbeda dengan anak lain. Begitu pula dengan kesiapannya menghadapi lingkungan dan tantangan baru. Tahun lalu, kami berkonsultasi dengan psikolog untuk mengetahui kesiapan Al bersekolah (SD atau TK).
Saat itu, kemampuan kognitif dan motorik Al belum berkembang seperti sekarang. Memang ada perkembangan tapi belum terlalu signifikan. Itu sebabnya, meski usianya sudah cukup untuk masuk SD inklusi, kami masih ingin memberikan Al kesempatan seluas-luasnya untuk having fun dengan kemajuannya.
Sambil menunggu waktunya tiba, saya tetap menjalankan program-program yang sudah disusun oleh psikolog dan terapi. Saya ingat betul, kami memanfaatkan jeda selama satu tahun itu dengan menjalankan program home schooling. Program dan kurikulumnya nggak muluk-muluk kok, saya tetap fokus pada stimulus motorik dan sedikit demi sedikit memasukkan program akademis.
Hasilnya?
Saat masuk TK B di tahun ajaran baru, Al sudah mengenal huruf bahkan sudah bisa membaca meski belum lancar. Mengenal angka dan penjumlahan sederhana pun sudah ia kuasai.
Percayalah, ketika anak sudah siap, kemampuan yang lain pasti mengikuti. Misalnya seperti kemampuan akademis atau yang lainnya. Dan jika anak memang belum siap bersekolah, tenang saja, semuanya akan membaik kok.
2. Perhatikan Waktu Pendaftaran
Dari beberapa sekolah yang kami datangi, beberapa sekolah sudah masuk ke pendaftaran tahap dua. Luar biasa ya? Luar biasa bikin mules sebetulnya, wkwkwk. Bahkan, ada beberapa sekolah yang sudah menutup pendaftaran karena kuota murid inklusi sudah terpenuhi.
Memang rada ribet dan nggak adil sih sebetulnya untuk murid inklusi ini. Saya rasa mereka juga berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak lain. Mereka juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai impian dan masa depan mereka.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Bayangkan saja, untuk satu sekolah inklusi biasanya hanya menerima 5 hingga 8 siswa inklusi saja per tahun (sesuai dengan SDM masing-masing sekolah. Padahal jumlah murid inklusi melebihi kuota tersebut.
Nah, supaya anak Ayah dan Bunda mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah pilihan, sebaiknya perhatikan waktu pendaftaran. Di bulan Juli atau Agustus (iya, di awal tahun ajaran baru!) biasanya sekolah-sekolah ini sudah membuka pendaftaran. Jadi jangan sampai terlambat mendapatkan informasi.
3. Cari Tahu dan Gali Informasi Sebanyak-banyaknya dari Calon Sekolah
Nah bagian ini sebaiknya dilakukan jauh hari sebelum mendaftar. Sekitar bulan Desember (jika pendaftaran dibuka di bulan Juli di tahun berikutnya), sehingga kita punya waktu sekitar enam bulan untuk menentukan calon sekolah yang cocok dengan konsep pola asuh kita di rumah.
Sebaiknya juga Ayah dan Bunda mencari dan membandingkan beberapa calon sekolah sekaligus. Setiap sekolah inklusi memiliki program yang berbeda. Begitu juga dengan fasilitas di sekolah. Pelajari baik-baik perbedaan ini, termasuk fasilitas sekolah dan beberapa hal yang sudah saya catat di bawah ini:
✔ Fasilitas untuk murid inlusi, lengkap dengan programnya. Di beberapa sekolah, mereka memiliki program khusus untuk murid inklusi, sebagian lagi tidak.
✔ Konsep pembelajaran. Apakah sudah sesuai dengan konsep yang Ayah dan Bunda inginkan atau ada yang berbeda.
✔ Sistem pendidikan. Apakah ada kelas khusus yang terjadwal dengan pendidikan individual untuk setiap murid inklusi atau tidak.
✔ Kurikulum. Apakah murid inklusi mendapatkan kurikulum, teknis penilaian dan ujian yang sama dengan murid lain atau berbeda.
Nah bagian ini sebaiknya dilakukan jauh hari sebelum mendaftar. Sekitar bulan Desember (jika pendaftaran dibuka di bulan Juli di tahun berikutnya), sehingga kita punya waktu sekitar enam bulan untuk menentukan calon sekolah yang cocok dengan konsep pola asuh kita di rumah.
Sebaiknya juga Ayah dan Bunda mencari dan membandingkan beberapa calon sekolah sekaligus. Setiap sekolah inklusi memiliki program yang berbeda. Begitu juga dengan fasilitas di sekolah. Pelajari baik-baik perbedaan ini, termasuk fasilitas sekolah dan beberapa hal yang sudah saya catat di bawah ini:
✔ Fasilitas untuk murid inlusi, lengkap dengan programnya. Di beberapa sekolah, mereka memiliki program khusus untuk murid inklusi, sebagian lagi tidak.
✔ Konsep pembelajaran. Apakah sudah sesuai dengan konsep yang Ayah dan Bunda inginkan atau ada yang berbeda.
✔ Sistem pendidikan. Apakah ada kelas khusus yang terjadwal dengan pendidikan individual untuk setiap murid inklusi atau tidak.
✔ Kurikulum. Apakah murid inklusi mendapatkan kurikulum, teknis penilaian dan ujian yang sama dengan murid lain atau berbeda.
4. Libatkan Anak untuk Memilih Calon Sekolahnya
Untuk beberapa anak berkebutuhan khusus yang sudah mulai mandiri dan bisa berkomunikasi dua arah, buat saya dan suami tak apa harus melibatkan mereka dalam memilih calon sekolah.
Untuk beberapa anak berkebutuhan khusus yang sudah mulai mandiri dan bisa berkomunikasi dua arah, buat saya dan suami tak apa harus melibatkan mereka dalam memilih calon sekolah.
Saat survei, kami memang tidak mengajak Al ke sekolah-sekolah tersebut. Tapi ketika mendaftar, sebisa mungkin kami ajak Al dan memberikan pengertian bahwa kami akan mengunjungi calon sekolah untuknya.
Lalu, kami juga melontarkan pertanyaan sederhana yang kira-kira bisa mewakili pendapatnya tentang sekolah tersebut. Bisa tentang taman bermain, keadaan kelas atau guru-gurunya.
Mungkin karena saya pikir selama ini Al selalu butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jadi lewat ide untuk mengajaknya mengunjungi calon sekolah nih saya berharap Al mulai mengenal lingkungan baru dan mulai memproses pengalaman baru ini.
Lalu, kami juga melontarkan pertanyaan sederhana yang kira-kira bisa mewakili pendapatnya tentang sekolah tersebut. Bisa tentang taman bermain, keadaan kelas atau guru-gurunya.
Mungkin karena saya pikir selama ini Al selalu butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jadi lewat ide untuk mengajaknya mengunjungi calon sekolah nih saya berharap Al mulai mengenal lingkungan baru dan mulai memproses pengalaman baru ini.
5. Jelaskan dan Terbuka Soal Kondisi Anak
Nah, beberapa kali membaca dan mengobrol tentang pengalaman orangtua dengan ABK, saya prihatin pada beberapa orangtua yang tidak mau terbuka tentang kondisi anaknya. Mungkin dengan alasan khawatir anaknya tidak diterima di sekolah tersebut.
Saya sangat paham kekhawatiran ini. Apalagi saya penderita anxiety, itu loh suatu keadaan di mana level kecemasan saya bisa meningkat tajam akan keadaan yang tidak bisa saya kontrol. Dan saya tahu betul rasanya memiliki rasa cemas dan khawatir ini.
Nah, beberapa kali membaca dan mengobrol tentang pengalaman orangtua dengan ABK, saya prihatin pada beberapa orangtua yang tidak mau terbuka tentang kondisi anaknya. Mungkin dengan alasan khawatir anaknya tidak diterima di sekolah tersebut.
Saya sangat paham kekhawatiran ini. Apalagi saya penderita anxiety, itu loh suatu keadaan di mana level kecemasan saya bisa meningkat tajam akan keadaan yang tidak bisa saya kontrol. Dan saya tahu betul rasanya memiliki rasa cemas dan khawatir ini.
Tapi, tidak berterus terang kepada guru dan psikolog di sekolah akan memperburuk keadaan. Anak tidak akan mendapatkan apa yang ia butuhkan dari sekolah dan lingkungannya. Akibatnya, alih-alih mengalami perkembangan, anak justru semakin melambat dan (lama-lama) jenuh di sekolah.
Sementara biasanya orangtua mulai merasakan perkembangan anaknya yang lamban. Guru di sekolah pun tidak bisa membantu banyak karena memang tidak tahu tentang kebutuhan anak.
Jadi sebaiknya, minta surat pengantar dari psikolog atau dokter anak kita untuk diberikan kepada guru di sekolah. Jelaskan detil tentang kondisi anak kita dan penanganan apa saja yang sudah kita berikan. Juga sejauh mana penanganan tersebut berjalan, atau apakah selama ini stuck di tempat, ada kemajuan meski sedikit atau ada perkembangan yang melesat.
Saya tipe orangtua yang cerewet, wkwkwk. Dalam artian saya selalu menyampaikan kepada wali kelas tentang terapi apa saja yang diterima Al pekan ini, bagaimana perkembangannya, bagaimana daily routine-nya di rumah, habbit dan perilakunya juga tentang program apa yang disarankan terapis.
Bukan apa-apa sih, tapi saya ingin guru di sekolah Al bisa mendapatkan informasi detil yang (saya yakin) akan membantu dan memudahkan wali kelas menghadapi Al di sekolah. Tentang program sekolah, sampai saat ini saya masih mendukung program yang sudah berjalan. Meski sekolah Al saat ini memang tidak menjalankan program khusus buat Al, tetapi mereka juga mendukung program kami di rumah dan menyesuaikannya di sekolah.
Itu sebabnya, saya dengan bangga bisa mengatakan bahwa hampir satu tahun bersekolah di TK pilihan kami, Al mengalami kemajuan yang luar bisa. Ia mulai bisa mengatur dan menenangkan dirinya sendiri (regulasi diri), kemampuan beradaptasinya mulai berkembang, komunikasinya makin lancar dan membacanya juga semakin lancar.
Nah, itu tadi pengalaman dan beberapa catatan tentang mencari sekolah inklusi di Cimahi yang bisa diterapkan di mana saja Ayah dan Bunda tinggal. Memang akan berbeda sesuai dengan kondisi dan tempat Ayah dan Bunda tinggal, tapi bisa disesuaikan lah ya.
Selamat mencari sekolah baru. Selamat melangkah ke fase selanjutnya ya. Have fun.
Salam,
Dyah Prameswarie
Tulisan ini adalah tulisan keempat dari seri ADHD, tulisan lain bisa dibaca di
- Kenalan Yuk Dengan ADHD
- 3 Terapi Untuk Anak ADHD
- Memberi Label pada Anak ADHD, Perlu Nggak Sih?
Terima kasih sudah berbagi, saya pun ibu dengan anak ADHD di Bandung..Memang sulit mencari sekolah inklusi yg benar2 sesuai ya..Apalagi anak ADHD kebanyakan dari luar tidak terlihat berkebutuhan khusus, jadi takutnya dianggap nakal karena lari-lari terus..Kalau boleh tahu Altaz masuk SD di umur brp?Psikolog TK anak saya menyarankan anak saya masuk SD saat usia 7 tahun agar lebih matang..
BalasHapusSaya juga mempunyai anak abk dan sekarang usianya mau 8 tahun sya susah mau mencari sekolah inklusi saya tinggalnya di majalaya
HapusPagi bunda... Saya dengan bunda Ken .. saya jg tinggal di daerah Cimahi tepatnya di perum permata ... Mau tanya kalau sekolah inklusi daerah Cimahi yg mana saja?
BalasHapusHallo Bunda.... Bisa info ga tempat terapi anak abk di cimahi terutama yg dekat dg cihanjuang cimahi.....
BalasHapusSalam kenal ya bunda.... dari Umi Hafiz
Pake BPJS mom bisa ko, klo utk biaya sendiri biasanya lumayan juga kan terapi TDK hanya 1/2 kali mom
Hapus